tanamduit menawarkan investasi AMAN dengan return atau imbal hasil lebih tinggi dari bunga deposito. Sebelum berinvestasi, kenali kondisi market dan strategi investasinya melalui penjelasan berikut.
Ringkasan Market Update:
- Pasar Saham Indonesia Ambruk: Pukulan Ganda dari Tarif dan Pemotongan Anggaran
- Pasar Obligasi Bergejolak: Yield SUN Naik Akibat Tarif dan Pelemahan Rupiah
- Rupiah Bergejolak di Tengah Tekanan Ancaman Kenaikan Tarif Impor Amerika Serikat dan Balasan dari Tiongkok Terhadap Amerika Serikat
- Emas Dunia Turun Tipis: Apa yang Guncang Pasar pada 8 April 2025?
- Minyak Anjlok: Penyebab dan Dampaknya bagi Indonesia
- US Treasury dan Dolar AS Bergejolak Akibat Tarif dan Ketidakpastian Global
- SBN ST014, Sumber Passive Income Syariah Terbaik!
- SBN Syariah ST014 dapat dibeli di tanamduit. Kupon (imbal hasil) perdana 6,50%/tahun untuk tenor 2 tahun (ST014-T2) dan 6,60%/tahun untuk tenor 4 tahun (ST014-T4).
- Kupon perdana ST014 menjadi kupon perdana ST tertinggi sejak tahun 2020!
- Kupon ST014 dibayar setiap bulan di tanggal 10, modal dikembalikan saat jatuh tempo.
- Masa penawaran ST014: 7 Maret 2025-16 April 2025.
Investasi ST014 di tanamduit, bonus total jutaan rupiah!
Berikut adalah data-data indeks saham, nilai tukar mata uang, harga komoditas, dan yield obligasi per tanggal 8 April 2025.
Pasar Saham Indonesia Ambruk: Pukulan Ganda dari Tarif dan Pemotongan Anggaran
Pada pembukaan perdagangan 8 April 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 9,19%, kemudian ditutup di level 5.996,14 (-7,90%). Penurunan drastis ini memaksa Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan perdagangan sementara karena jatuh lebih dari 8%.
Indeks lain juga terpuruk: LQ45 turun 9,09%, IDX30 melemah 8,83%, Bisnis27 jatuh 8,37%, serta SRI Kehati dan ISSI masing-masing merosot 7,51%.
Nilai transaksi IHSG pada hari itu mencapai Rp 20,94 triliun, mencerminkan tingginya aktivitas jual di pasar.
Penyebab utama kejatuhan ini adalah ancaman kenaikan tarif impor dari Amerika Serikat dan pemotongan anggaran pemerintah sebesar Rp 306 triliun.
Tarif AS yang baru dikhawatirkan mengganggu ekspor Indonesia, sedangkan pemotongan anggaran memicu ketakutan akan perlambatan ekonomi.
Laporan Goldman Sachs yang menyebut risiko fiskal Indonesia meningkat juga memperparah situasi, dengan investor asing mencatat net sell Rp 3,87 triliun pada hari itu. Sementara itu, total net sell mencapai Rp 33,8 triliun sejak awal tahun.
Sektor keuangan dan barang konsumsi menjadi penggerak utama penurunan. Saham besar seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 10,5%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) anjlok 9,8%, dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) merosot 8,2%.
Sektor keuangan tertekan oleh ketidakpastian ekonomi, sementara barang konsumsi terdampak prediksi melemahnya daya beli akibat kebijakan anggaran. Aksi jual besar-besaran oleh investor asing semakin memperburuk kondisi pasar.
Kombinasi tekanan eksternal dari tarif AS dan kebijakan domestik menjadi pukulan ganda yang membuat pasar saham Indonesia ambruk.
Tingginya nilai transaksi dan dominasi net sell asing menunjukkan kepanikan investor yang signifikan.
Pasar kemungkinan akan tetap volatile dalam waktu dekat jika tidak ada langkah konkret untuk meredakan ketegangan ini. (Sumber: CNBC Indonesia, Kompas, BEI, dibantu oleh AI)
Pasar Obligasi Bergejolak: Yield SUN Naik Akibat Tarif dan Pelemahan Rupiah
Pada tanggal 8 April 2025, pasar Surat Utang Negara (SUN) menghadapi tekanan yang cukup besar.
Berdasarkan data dari PHEI dan Bloomberg, yield SUN tenor 5 tahun (FR0104) meningkat 8 basis poin menjadi 6,83%. Sementara itu, yield SUN tenor 10 tahun (FR0103) juga naik 8 basis poin mencapai 7,08% dibandingkan 27 Maret 2025 sebelum libur Idulfitri.
Akibatnya, harga SUN menurun karena hubungan terbalik antara yield dan harga. Volume transaksi SUN melonjak menjadi Rp 29,4 triliun, jauh lebih tinggi dibandingkan Rp17,3 triliun pada akhir Maret, menandakan aktivitas pasar yang sangat ramai.
Kenaikan yield ini dipicu oleh dua faktor utama: ancaman kenaikan tarif impor dari Amerika Serikat yang diumumkan pada 2 April 2025, serta respons balasan dari Tiongkok pada 4 April, yang mengguncang pasar keuangan global.
Nilai tukar rupiah melemah 0,41% menjadi Rp 16.891 per dolar AS, mendorong investor asing menjual SUN senilai Rp 3,87 triliun pada hari itu.
Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi di pasar valuta asing dan SBN untuk menstabilkan rupiah.
Intervensi BI berhasil menahan kenaikan yield dari puncak 7,18% di awal sesi menjadi 7,08% saat penutupan. Namun, pemotongan anggaran pemerintah sebesar Rp 306 triliun turut memperburuk kekhawatiran akan perlambatan ekonomi, sehingga yield tetap tertekan.
Obligasi korporasi juga terdampak, dengan volume transaksi mencapai Rp 6,9 triliun, meskipun tidak sebesar SUN.
Di pasar global, yield US Treasury tenor 10 tahun naik 11 basis poin menjadi 4,26%, mencerminkan sentimen negatif dunia.
Credit Default Swap Indonesia sedikit meningkat ke 128 basis poin, menunjukkan persepsi risiko yang lebih tinggi.
Dengan kondisi ini, pasar obligasi Indonesia sedang menghadapi tantangan dari ketidakpastian global dan domestik, dan langkah BI menjadi kunci untuk menjaga stabilitas ke depan.
Rupiah Bergejolak Di Tengah Tekanan Ancaman Kenaikan Tarif Impor Amerika Serikat dan Balasan dari Tiongkok Terhadap Amerika Serikat
Pada tanggal 8 April 2025, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami pergerakan yang cukup mencolok.
Rupiah sempat melemah di awal hari, bahkan menyentuh level tertinggi hingga Rp 17.223 per dolar AS di pasar global selama libur Idulfitri, menurut data Bloomberg.
Namun, menjelang akhir hari, rupiah berhasil menguat dan ditutup di sekitar Rp 16.891 per dolar AS, naik 0,41% dari posisi sebelumnya Rp 16.822 pada 7 April.
Volume transaksi di pasar valas juga terlihat ramai, menunjukkan banyak aktivitas jual-beli di tengah situasi ini.
Penyebab utama pergerakan ini adalah ancaman kenaikan tarif impor dari Amerika Serikat yang diumumkan pada 2 April 2025, ditambah respons balasan tarif dari Tiongkok pada 4 April.
Kebijakan ini mengguncang pasar keuangan dunia, membuat investor asing khawatir dan menarik dana mereka dari negara berkembang seperti Indonesia, termasuk menjual SUN senilai Rp 3,87 triliun. Akibatnya, rupiah tertekan dan melemah.
Selain itu, pemotongan anggaran pemerintah sebesar Rp 306 triliun juga menambah kekhawatiran bahwa ekonomi Indonesia bisa melambat, makin memperburuk nilai tukar.
Bank Indonesia (BI) tidak tinggal diam. BI melakukan intervensi dengan strategi tiga langkah: membeli rupiah di pasar spot, mengatur pasar Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan membeli SUN di pasar sekunder.
Intervensi ini berhasil menahan pelemahan Rupiah, terbukti dari yield SUN 10 tahun yang sempat naik ke 7,18% di awal hari tapi turun jadi 7,08% saat penutupan.
Langkah BI ini bertujuan menjaga stabilitas Rupiah agar tidak anjlok terlalu jauh, sekaligus menenangkan pasar di tengah tekanan global dan domestik yang berat.
Emas Dunia Turun Tipis: Apa yang Guncang Pasar pada 8 April 2025?
Harga emas dunia mengalami penurunan kecil pada 8 April 2025, ditutup di USD 2.978 per troy ounce, turun 0,13% dari USD 2.982 pada 7 April, menurut data Investing.com.
Penurunan ini terjadi di tengah ketidakpastian pasar yang dipicu oleh pengumuman tarif baru AS pada 2 April, yang dibalas Tiongkok pada 4 April.
Meski emas biasanya jadi tempat aman saat pasar goyang, aksi ambil untung investor dan penguatan sementara dolar AS sedikit menekan harga emas, membuatnya gagal bertahan di level yang lebih tinggi.
Di Indonesia, harga emas Antam ikut melemah, ditutup di Rp 1.754.000 per gram untuk penjualan dan Rp 1.604.000 untuk pembelian kembali, sesuai data Logam Mulia.
Pelemahan Rupiah ke Rp 16.891 per dolar AS turut memengaruhi harga lokal, meski intervensi Bank Indonesia di pasar valas membantu meredam fluktuasi yang lebih besar.
Dengan sentimen global yang masih labil, harga emas dunia dan lokal tampaknya bakal terus berayun—akankah investor tetap bertahan atau menanti peluang baru?
Minyak Anjlok: Penyebab dan Dampaknya bagi Indonesia
Harga minyak dunia, baik Crude Oil (WTI) maupun Brent, mengalami penurunan tajam dalam seminggu terakhir hingga 8 April 2025.
Berdasarkan informasi terkini, harga Brent turun ke kisaran USD 65,58 per barel pada 4 April, sementara WTI anjlok ke USD 61,99, masing-masing merosot 6,5% dan 7,4% dalam sehari.
Penyebab utamanya adalah eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, ditambah ancaman tarif baru AS terhadap Kanada dan Meksiko. Tarif ini memicu kekhawatiran perlambatan ekonomi global, terutama di Tiongkok, yang melemahkan permintaan minyak.
Selain itu, pasokan minyak tetap tinggi karena produksi non-OPEC+, seperti dari Amerika Serikat, terus bertambah, meskipun OPEC+ berencana menambah pasokan mulai April.
Bagi Indonesia, sebagai negara pengimpor minyak bersih, penurunan harga ini membawa angin segar. Biaya impor bahan bakar berkurang, membantu menekan inflasi dan menghemat anggaran negara yang biasanya terbebani subsidi BBM.
Namun, ada sisi lain: industri minyak domestik, seperti Pertamina, dan daerah penghasil minyak bisa kehilangan pendapatan karena harga jual yang lebih rendah.
Secara keseluruhan, dampak positif dari penghematan subsidi cenderung lebih besar dibandingkan kerugian di sektor hulu, apalagi dengan rupiah yang stabil di Rp 16.891 per dolar berkat intervensi Bank Indonesia.
Untuk masyarakat, harga minyak murah bisa berarti harga bahan bakar dan barang sehari-hari lebih terjangkau, meningkatkan daya beli, terutama bagi kelompok menengah ke bawah.
Namun, jika perang dagang memicu resesi global, ekspor Indonesia seperti kelapa sawit dan karet bisa terdampak, berpotensi mengurangi lapangan kerja dan pendapatan masyarakat di sektor tersebut.
Jadi, meski ada keuntungan jangka pendek, ketidakpastian global tetap jadi tantangan yang perlu diwaspadai.
US Treasury dan Dolar AS Bergejolak Akibat Tarif dan Ketidakpastian Global
Pada 8 April 2025, imbal hasil (yield) US Treasury mengalami pergerakan mencolok.
Yield US Treasury tenor 10 tahun naik 8 basis poin dari 4,29% menjadi 4,37%, berdasarkan data perdagangan antar bank hingga penutupan hari itu.
Kenaikan ini terjadi setelah pasar global kembali aktif pasca-libur Idulfitri di Indonesia, di tengah kekhawatiran akibat ancaman tarif impor Amerika Serikat dan pelemahan ekonomi dunia.
Sementara itu, DXY (US Dollar Index), yang mengukur kekuatan dolar AS terhadap mata uang utama lainnya, hanya bergerak tipis.
DXY naik 0,01% dari 103,2560 menjadi 103,2705, menunjukkan stabilitas relatif di tengah gejolak pasar.
Kedua pergerakan ini saling berkaitan, meski tak sepenuhnya sejalan.
Kenaikan yield Treasury biasanya meningkatkan daya tarik dolar AS karena imbal hasil yang lebih besar. Namun, stabilitas DXY kali ini dipengaruhi oleh intervensi Bank Indonesia (BI) yang menahan pelemahan rupiah, serta aksi ambil untung investor setelah penguatan dolar sebelumnya.
Ancaman tarif AS yang diumumkan pada 2 April, ditambah ketidakpastian ekonomi global, mendorong investor mencari keamanan di Treasury.
Meskipun demikian, dolar tidak ikut melonjak karena pasar lebih fokus pada dinamika lokal dan regional, termasuk respons BI.
Bagi pasar keuangan Indonesia, dampaknya cukup nyata. Yield SUN 10 tahun (FR0103) ikut naik 8 basis poin ke 7,08%, seiring aksi jual investor asing senilai Rp 3,87 triliun, yang menekan harga SUN dan mengerek yield.
Rupiah melemah ke Rp 16.891 per dolar AS, meski BI mampu meredam volatilitas dari puncak Rp 17.223 selama libur.
IHSG pun terpuruk 7,9%, terhantam sentimen global dan arus keluar modal.
Kenaikan yield Treasury dan stabilitas DXY ini memperparah tekanan pada aset Indonesia, tetapi langkah BI membantu mencegah kerugian yang lebih dalam—setidaknya untuk saat ini.
Factors to Watch:
- Eskalasi Perang Dagang Global: Ancaman tarif tambahan 32% dari AS terhadap ekspor Indonesia, seperti minyak sawit dan tekstil, serta balasan tarif dari Tiongkok, dapat mengganggu ekspor dan memicu volatilitas di pasar keuangan domestik.
- Ketegangan Geopolitik di Timur Tengah: Gangguan rantai pasok energi di Teluk Persia berpotensi memengaruhi harga minyak dunia, yang secara tidak langsung berdampak pada biaya impor dan inflasi di Indonesia.
- Kenaikan Yield US Treasury: Yield US Treasury 10 tahun yang naik ke 4,37% meningkatkan tekanan pada yield SBN (naik ke 7,08%). Hal ini memperbesar risiko outflow modal asing dari pasar Indonesia.
- Stabilitas Rupiah dan Intervensi BI: Pelemahan rupiah ke Rp 16.891 per dolar AS, meski ditahan oleh intervensi BI, tetap menjadi perhatian karena dapat memengaruhi daya beli dan stabilitas investasi domestik.
Rekomendasi untuk Investor
1. Reksa Dana:
Dalam kondisi pasar yang bergejolak, investor disarankan memilih reksa dana pendapatan tetap yang fokus pada obligasi pemerintah (SBN) untuk stabilitas, atau reksa dana pasar uang untuk likuiditas tinggi dan risiko rendah.
Hindari reksa dana saham murni jangka pendek karena IHSG rentan terhadap tekanan global, kecuali untuk investor dengan horizon jangka panjang yang siap menahan volatilitas.
2. SBN (Surat Berharga Negara): Sukuk Tabungan Seri ST014 adalah rekomendasi utama untuk risiko rendah dan return stabil. Kupon mengambang dengan batas bawah (floating with floor) dijamin pemerintah, sehingga aman dari fluktuasi pasar.
Manfaatkan SBN seri ST014 yang sedang dalam masa penawaran sampai dengan tanggal 16 April 2025, tenor 2 tahun (ST014-T2) dengan kupon 6,50% per tahun (5,85% netto setelah pajak kupon) dan tenor 4 tahun (ST014-T4) dengan kupon 6,60% per tahun (5,94% netto setelah pajak kupon).
3. Emas
Emas menjadi pilihan utama sebagai aset safe haven, terutama setelah harga dunia turun tipis ke USD2.978 per troy ounce pada 8 April, memberikan peluang beli di harga rendah.
Di dalam negeri, harga emas Antam di Rp 1.754.000 per gram masih menarik untuk lindung nilai terhadap pelemahan rupiah dan inflasi impor (imported inflation) karena masih melemahnya nilai rupiah terhadap USD, dengan potensi kenaikan jika ketegangan geopolitik memburuk.
Kondisi ini menuntut kewaspadaan, tetapi juga membuka peluang bagi investor yang cermat.
Kombinasi SBN dan emas dapat menjadi strategi seimbang untuk melindungi nilai aset, sementara reksa dana bisa dimanfaatkan untuk fleksibilitas dan diversifikasi.
Pantau terus langkah BI dan perkembangan tarif global untuk menyesuaikan langkah investasi Anda.
Yuk, investasi sekarang di tanamduit!
DISCLAIMER:
Tulisan ini dibuat dan diterbitkan oleh PT Star Mercato Capitale (tanamduit), anak perusahaan PT Mercato Digital Asia, yang telah berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana dengan nomor KEP-13/PM.21/2017 serta menjadi mitra distribusi SBN dari DJPPR – Kementerian Keuangan Republik Indonesia dengan nomor S-363/pr/2018 dan dari SBSN dengan nomor PENG-2/PR.4/2018.
PT Mercato Digital Asia telah terdaftar pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) dengan nomor: 005445.01/DJAI.PSE/07/2022 dan bekerja sama dengan PT Cipta Optima Digital (emasin) untuk produk Koleksi Emas dan PT BPRS ATTAQWA (BPRS Attaqwa) dalam menyediakan produk Tabungan Emas 24 Karat produksi emas PT Aneka Tambang Tbk (Antam).
Tulisan ini bersumber dari berbagai informasi tertulis dan visual yang terpercaya dan tersebar luas baik yang disediakan secara digital maupun hardcopy. Meskipun demikian, PT Star Mercato Capitale tidak dapat menjamin keakurasian dan kelengkapan data dan informasinya. Manajemen PT Star Mercato Capitale beserta karyawan dan afiliasinya menyangkal setiap dan semua tanggung jawab atas keakurasian, kelalaian, atau kerugian apapun dari penggunaan tulisan ini.