tanamduit menawarkan investasi yang aman dengan potensi return atau imbal hasil lebih tinggi dari bunga deposito. Sebelum berinvestasi, kenali kondisi market dan strategi investasinya melalui penjelasan berikut.
Ringkasan Market Update:
- IHSG Mencatat Kenaikan Tertinggi di Asia
- Obligasi Menguat, Prospek Cerah di Tengah Penguatan Rupiah
- Emas Mengalami Penurunan Pasca Pengumuman Tarif di Cina
- Rupiah Menguat: Sinyal Positif di Tengah Tantangan Global
- Imbal Hasil Turun: Harapan Damai Perang Dagang Membawa Angin Segar
- Saham AS Menguat: Big Tech Jadi Penopang di Tengah Ketegangan Tarif
Berikut adalah data-data indeks saham, nilai tukar mata uang, harga komoditas, dan yield obligasi per tanggal 25 April 2025.
IHSG Mencatat Kenaikan Tertinggi di Asia
Pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan performa gemilang dengan naik 3,74%, ditutup pada level 6.678 pada Jumat (25/4/2025).
Kenaikan ini menjadikan IHSG sebagai indeks saham terbaik di Asia, mengungguli indeks negara tetangga seperti Singapura, Filipina, hingga Jepang dan Tiongkok.
Sebanyak 427 saham naik, didorong oleh sektor konsumer nonprimer yang melonjak 2,51%, serta saham unggulan seperti GOTO dan UNVR yang masing-masing berkontribusi besar pada penguatan IHSG.
Meski IHSG menguat, ada tantangan yang perlu diperhatikan. Posisi IHSG di level 6.600 mulai rawan aksi jual untuk ambil untung, dengan potensi turun ke level 6.300.
Selain itu, rupiah masih melemah mendekati Rp17.000 per dolar AS, level terendah sepanjang masa, meskipun indeks dolar AS sudah melandai.
Namun, ada kabar baik: UBS Group, perusahaan investasi global, menaikkan rekomendasi untuk saham Indonesia menjadi “overweight” karena kondisi domestik yang kuat dan valuasi saham yang menarik, memberikan sentimen positif bagi pasar.
Menurut Kepala Riset Trimegah Securities, Fakhrul Fulvian, kepercayaan investor terhadap stabilitas domestik dan kebijakan ekonomi yang pro-investasi menjadi kunci pemulihan pasar saham Indonesia yang cepat.
Pemerintah perlu menjaga komunikasi yang baik dan mempercepat belanja anggaran agar pemulihan ini berkelanjutan.
Dengan permintaan domestik yang tangguh, Indonesia tetap menjadi pilihan utama investor global untuk diversifikasi portofolio di tengah ketegangan geopolitik dunia. (CNBC Indonesia, Bloomberg Technoz)
Obligasi Menguat, Prospek Cerah di Tengah Penguatan Rupiah
Harga obligasi pemerintah (SUN) menguat pada Jumat (25/04), dengan imbal hasil (yield) obligasi 5-tahun turun ke 6,59% dan 10-tahun ke 6,91%.
Volume transaksi obligasi pemerintah di pasar sekunder mencapai Rp15,3 triliun, lebih rendah dari hari sebelumnya.
Investor asing menunjukkan minat positif dengan membeli bersih Rp11,13 triliun di pasar SUN, meski terjadi pelepasan di saham dan instrumen SRBI.
Rupiah juga menguat 0,25% ke Rp16.830/USD, didukung stabilitas dari Bank Indonesia.
Sentimen global mendukung obligasi lokal, terlihat dari penurunan yield obligasi AS (UST 10-tahun ke 4,29%) dan risiko kredit Indonesia (CDS 5-tahun turun ke 96bp).
Secara mingguan, rupiah terapresiasi 0,28%, dan yield SUN 10-tahun turun 3bp ke 6,92%.
Kombinasi penguatan rupiah, sentimen positif global, dan minat investor asing berpotensi meningkatkan permintaan obligasi pemerintah dalam pekan ini.
Investor bisa mempertimbangkan reksa dana pendapatan tetap yang portofolionya fokus pada obligasi pemerintah (SUN). Penguatan rupiah dan penurunan risiko global menjadi faktor pendukung.
Namun, tetap waspadai fluktuasi akibat sentimen pasar dan kebijakan suku bunga global.
Diversifikasi portofolio dengan instrumen tetap seperti SUN dapat menjadi pilihan bijak di tengah ketidakpastian pasar saham. (BNI Sekuritas)
Emas Mengalami Penurunan Pasca Pengumuman Tarif di Cina
Jumat (25/4), harga emas jatuh menjadi sekitar $3.290 per ons, kehilangan keuntungan dari sesi sebelumnya.
Penurunan ini terjadi setelah pemerintah Beijing mengumumkan pengecualian tarif 125% untuk barang-barang tertentu asal Amerika Serikat.
Langkah pemerintah Beijing menjadi pertanda meredanya ketegangan dalam sengketa dagang yang sedang berlangsung, sekaligus mengurangi daya tarik emas sebagai aset lindung nilai.
Sementara itu, indeks dolar mendekati angka 100, membuat emas yang diperdagangkan dalam dolar menjadi lebih mahal bagi pembeli internasional.
Di tengah dinamika ini, imbal hasil Treasury AS mengalami kenaikan tipis seiring dengan pejabat Federal Reserve yang mempertahankan pandangan “sabar” terhadap kebijakan moneter.
Meskipun emas sempat mencapai titik tertinggi baru di $3.500 pada awal minggu, faktor-faktor seperti komentar Presiden Trump tentang independensi Fed turut berkontribusi pada penurunan harga emas.
Saat ini, emas tampak menuju kemunduran mingguan setelah pencapaian sebelumnya.
Meskipun mengalami penurunan, harga emas masih menunjukkan performa yang kuat dengan kenaikan sekitar 30% sepanjang tahun ini.
Selain itu, rasio harga emas terhadap perak telah mencapai level tertinggi sejak 1994 (tidak termasuk masa pandemi), menunjukkan kekuatan relatif emas batangan di pasar saat ini. (Trading Economics)
Rupiah Menguat, Sinyal Positif di Tengah Tantangan Global
Pada Jumat (25/4), nilai tukar rupiah berhasil menguat sebesar 0,25% atau 43 poin, ditutup pada level Rp16.829 per dolar AS.
Meskipun indeks dolar AS juga naik 0,27% ke posisi 99,430, rupiah tetap menunjukkan performa baik dibandingkan beberapa mata uang Asia lainnya.
Dalam hal ini, sejumlah mata uang Asia, seperti peso Filipina dan yuan China menguat pada perdagangan Jumat (25/4). Namun, yen Jepang dan ringgit Malaysia justru melemah.
Pengamat valas, Ibrahim Assuaibi, memprediksi bahwa rupiah akan bergerak stabil pada pekan depan. Tak hanya itu, rupiah juga berpotensi menguat ke kisaran Rp16.780–Rp16.830.
Bank Indonesia (BI) turut berperan dalam penguatan rupiah ini dengan strategi stabilisasi nilai tukar yang kuat.
BI terus melakukan intervensi di pasar valas, baik di dalam maupun luar negeri, untuk menjaga stabilitas rupiah di tengah tekanan global.
Selain itu, BI memberikan sinyal akan menurunkan suku bunga acuan dari level 5,75% untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sambil tetap memantau inflasi dan nilai tukar.
Langkah ini dinilai berhasil karena rupiah tetap terkendali, bahkan cenderung menguat, meski ada tantangan dari kebijakan tarif AS.
BI juga optimis bahwa ekonomi Indonesia mampu menghadapi gejolak global berkat tiga indikator utama.
Pertama, defisit transaksi berjalan yang rendah, hanya 0,5-1,3% dari PDB. Kedua, surplus transaksi modal dan finansial cukup untuk menutupi defisit tersebut, didukung oleh investasi asing. Ketiga, cadangan devisa Indonesia yang tinggi, mencapai US$157,1 miliar per Maret 2025, setara dengan 6,7 bulan impor—jauh di atas standar internasional.
Dengan pondasi ini, masyarakat bisa lebih tenang, meski tetap perlu bijak mengelola keuangan di tengah dinamika ekonomi global. (Bisnis)
Imbal Hasil Turun: Harapan Damai Perang Dagang Membawa Angin Segar
Jumat (25/4), imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (Treasury) menurun karena adanya harapan bahwa ketegangan perang dagang antara AS dan Tiongkok mulai mereda.
Presiden AS, Donald Trump, menyatakan bahwa ia sedang bernegosiasi dengan Tiongkok untuk mencapai kesepakatan tarif, meskipun Beijing membantah adanya pembicaraan.
Penurunan imbal hasil ini juga dipengaruhi oleh kekhawatiran investor akan melambatnya ekonomi AS, yang membuat mereka berpikir Federal Reserve (Fed) mungkin akan menurunkan suku bunga untuk menjaga ekonomi tetap stabil.
Meski ada optimisme, pasar masih khawatir dengan kebijakan Trump yang tidak menentu. Hal ini dapat membuat investor asing menarik diri dari obligasi AS.
Namun, analis dari Citi melihat tanda-tanda positif, dengan adanya pola “kembali ke aset aman” di pasar, ditunjukkan oleh meningkatnya pembelian obligasi oleh investor asing.
Sementara itu, survei Universitas Michigan menunjukkan sentimen konsumen AS memburuk selama empat bulan berturut-turut, dengan indeks turun ke 52,2 pada April karena kekhawatiran akan dampak tarif, inflasi, dan potensi resesi.
Selain itu, ekspektasi inflasi konsumen juga tinggi, mencapai 6,5%, level tertinggi sejak 1981.
Dalam hal ini, imbal hasil Treasury 10 tahun turun ke 4,266%, sementara imbal hasil 2 tahun menjadi 3,762%, menunjukkan kurva imbal hasil yang mendatar—tanda investor mulai khawatir dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Pejabat Fed menyatakan bahwa mereka siap menurunkan suku bunga jika ekonomi memburuk, memberikan sedikit harapan bagi pasar.
Namun, jika kesepakatan perdagangan gagal tercapai dalam waktu dekat, pasar dapat kembali bergejolak.
Bagi masyarakat awam, ini berarti kondisi ekonomi global masih penuh ketidakpastian, sehingga penting untuk memantau perkembangan kebijakan ekonomi dan menjaga keuangan pribadi dengan bijak. (Reuters)
Saham AS Menguat: Big Tech Jadi Penopang di Tengah Ketegangan Tarif
Jumat (25/4), saham di Amerika Serikat (AS) ditutup naik, melanjutkan kenaikan selama empat hari berturut-turut. Performa kuat dari perusahaan teknologi besar (Big Tech) menjadi pendorong utama.
Indeks S&P 500 naik 0,7%, Nasdaq meningkat 1,1%, dan Dow naik 20 poin.
Saham Alphabet melonjak 1,5% setelah laporan laba yang melebihi harapan dan pengumuman dividen pertama, sementara Tesla meroket 9,8% berkat aturan baru mobil self-driving.
Meski demikian, tidak semua saham bergerak positif. Saham Intel turun 7% karena perkiraan lemah, dan T-Mobile anjlok 11% akibat pertumbuhan pelanggan yang mengecewakan.
Kenaikan saham ini terjadi di tengah ketegangan perdagangan setelah pernyataan Presiden Trump tentang tarif 50% yang disebutnya sebagai “kemenangan total”, meskipun Beijing membantah adanya pembicaraan.
Optimisme sempat muncul karena China membebaskan beberapa barang AS dari tarif, tetapi ketidakpastian tetap ada.
Minggu depan, investor menantikan laporan laba dari raksasa teknologi seperti Amazon, Apple, dan Meta, yang diharapkan dapat terus mendongkrak pasar.
Secara keseluruhan, pasar saham AS mencatat kenaikan mingguan yang solid, dengan S&P 500 naik 4%, Nasdaq 6%, dan Dow 2%–memberikan harapan bagi investor di tengah dinamika global. (Trading Economics)
Faktor yang Perlu Diperhatikan:
1. Global
- Kebijakan Suku Bunga AS: Pemangkasan suku bunga The Fed diprediksi dapat meningkatkan daya tarik emas sebagai lindung nilai inflasi. Sementara itu, penurunan imbal hasil obligasi AS dapat mendorong aliran modal ke pasar berkembang seperti Indonesia.
- Ketegangan Geopolitik: Konflik di Timur Tengah dan Ukraina berpotensi meningkatkan permintaan emas, namun resolusi damai bisa menekan harganya.
- Penguatan Dolar AS: Indeks dolar naik mendekati level 100, membuat emas lebih mahal bagi pembeli luar negeri. Namun, pelemahan dolar dapat menjadi katalis kenaikan harga emas.
2. Nasional (Indonesia)
- Kebijakan BI: Potensi penurunan suku bunga acuan BI dari 5,75% akan meningkatkan imbal hasil obligasi negara (SBN), mendukung kinerja reksa dana pendapatan tetap.
- Pertumbuhan Ekonomi: Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I-2025 sebesar 5,03% menjadi sinyal positif bagi stabilitas obligasi dan pasar modal .
- Nilai Tukar Rupiah: Penguatan rupiah ke Rp16.830/USD mengurangi risiko inflasi impor dan meningkatkan daya beli investor asing di pasar SBN.
Rekomendasi untuk Investor:
A. Untuk Investor Reksa Dana
Prioritaskan obligasi korporasi dan pasar uang untuk stabilitas, serta diversifikasi dengan saham jika risiko ditoleransi.
1. Reksa Dana Pendapatan Tetap Obligasi Korporasi
Pilih reksa dana berbasis obligasi korporasi dengan imbal hasil tinggi. Obligasi korporasi menawarkan kupon lebih tinggi daripada deposito, cocok untuk investor moderat-agresif.
Alokasi ideal: 40%-60% portofolio, tergantung profil risiko .
2. Reksa Dana Pasar Uang
Pilih reksa dana pasar uang untuk likuiditas dan sebagai “tempat parkir” dana sambil menunggu sentimen pasar saham membaik.
3. Diversifikasi dengan Reksa Dana Campuran untuk menangkap potensi rebound IHSG, terutama di sektor konsumen nonprimer yang sedang.
4. Reksa Dana Saham
Pilih reksa dana saham untuk jangka panjang. Harga saham masih akan volatile sepanjang sisa tahun 2025. Namun, tren sudah menunjukkan kenaikan.
B. Untuk Investor Emas
Manfaatkan sebagai lindung nilai geopolitik dengan alokasi terukur, hindari overeksposur.
1. Beli di Harga Koreksi
Harga emas global diprediksi MUFG mencapai US3.000/ons pada 2025, didukung permintaan bank sentral dan ketidakpastian kebijakan AS di era Trump. Manfaatkan penurunan harga sementara (misal ke USD3.000/ ons).
2. Waspadai Risiko Jangka Pendek
Pergerakan imbal hasil obligasi AS dan penguatan dolar bisa menekan harga emas. Pantau perkembangan kebijakan The Fed dan data inflasi AS.
Yuk, investasi sekarang di tanamduit!
DISCLAIMER:
Tulisan ini dibuat dan diterbitkan oleh PT Star Mercato Capitale (tanamduit), anak perusahaan PT Mercato Digital Asia, yang telah berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana dengan nomor KEP-13/PM.21/2017 serta menjadi mitra distribusi SBN dari DJPPR – Kementerian Keuangan Republik Indonesia dengan nomor S-363/pr/2018 dan dari SBSN dengan nomor PENG-2/PR.4/2018.
PT Mercato Digital Asia telah terdaftar pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) dengan nomor: 005445.01/DJAI.PSE/07/2022 dan bekerja sama dengan PT Cipta Optima Digital (emasin) untuk produk Koleksi Emas dan PT BPRS ATTAQWA (BPRS Attaqwa) dalam menyediakan produk Tabungan Emas 24 Karat produksi emas PT Aneka Tambang Tbk (Antam).
Tulisan ini bersumber dari berbagai informasi tertulis dan visual yang terpercaya dan tersebar luas baik yang disediakan secara digital maupun hardcopy. Meskipun demikian, PT Star Mercato Capitale tidak dapat menjamin keakurasian dan kelengkapan data dan informasinya. Manajemen PT Star Mercato Capitale beserta karyawan dan afiliasinya menyangkal setiap dan semua tanggung jawab atas keakurasian, kelalaian, atau kerugian apapun dari penggunaan tulisan ini.