tanamduit menawarkan investasi yang aman dengan potensi return atau imbal hasil lebih tinggi dari bunga deposito. Sebelum berinvestasi, kenali kondisi market dan strategi investasinya melalui penjelasan berikut.
Ringkasan Market Update:
- IHSG Mengalami Penurunan, Investor Melakukan Aksi Profit Taking.
- Peningkatan Harga Surat Utang Negara Menyusul Perkembangan Ekonomi Global.
- Harga Emas Mencapai Rekor Baru di Tengah Ketegangan Perdagangan Global.
- Walaupun Indeks Dolar AS Turun, Ketidakpastian Tarif Global Tekan Nilai Tukar Rupiah ke Rp16.837 per Dolar AS
- Jerome Powell: Suku Bunga Akan Tetap Tinggi, Ancaman Stagflasi Menunggu.
- Imbal Hasil Obligasi AS Turun, Ketidakpastian Tarif Membayangi Ekonomi.
Berikut adalah data-data indeks saham, nilai tukar mata uang, harga komoditas, dan yield obligasi per tanggal 16 April 2025.
IHSG Mengalami Penurunan, Investor Melakukan Aksi Profit Taking
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan sebesar 0,65% pada Rabu, 16 April 2025, ditutup di level 6.400,054.
Dalam perdagangan Rabu (16/4/25), tercatat 250 saham mengalami kenaikan, 331 saham mengalami penurunan, dan 220 saham tidak bergerak.
Nilai transaksi cukup tinggi, mencapai Rp21,14 triliun, menunjukkan aktivitas pasar yang intens, dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp11.036,04 triliun.
Sektor-sektor utama seperti utilitas, finansial, dan konsumer primer menjadi penyebab utama penurunan IHSG.
Saham konglomerat Prajogo Pangestu (BREN) yang turun 5,08% memberi kontribusi signifikan terhadap penurunan indeks. Di samping itu, saham-saham bank besar juga menunjukkan performa buruk, mengakibatkan dampak negatif pada IHSG.
Pada hari yang sama, net foreign sell tercatat sebesar Rp8,2 triliun, menjadi net sell terbesar sepanjang tahun 2025. Investor asing diduga melakukan net sell dalam rangka memanfaatkan kenaikan harga saham blue chips yang cukup signifikan seminggu terakhir.
Meski demikian, walaupun IHSG sudah naik lebih dari 7% sejak pekan lalu, tekanan dari sentimen negatif masih menghantui pasar.
Meskipun terdapat tantangan dari ketidakpastian global, termasuk konflik perdagangan antara Amerika Serikat dan China, para investor domestik tetap optimis terhadap fundamental perekonomian Indonesia.
Analis mencatat bahwa investor kini menunggu laporan keuangan kuartal pertama 2025 sebagai indikator kinerja emiten.
Dalam suasana yang penuh tantangan, harapan untuk perbaikan tetap ada, seiring dengan meredanya gejolak pasar setelah pengumuman tarif impor. (CNBC Indonesia)
Peningkatan Harga Surat Utang Negara Menyusul Perkembangan Ekonomi Global
Pada sesi perdagangan kemarin, harga Surat Utang Negara (SUN) menunjukkan penguatan.
Yield SUN Benchmark 5-tahun (FR0104) turun 3 basis poin menjadi 6,77%, sedangkan yield SUN Benchmark 10-tahun (FR0103) turun 2 basis poin menjadi 6,93%.
Data juga mengindikasikan bahwa yield curve SUN 10-tahun telah melewati batas bawah dari kisaran estimasi mingguan, menunjukkan bahwa ada potensi untuk lebih banyak penawaran yang mendukung pasar obligasi.
Volume transaksi Surat Berharga Negara (SBN) secara outright tercatat sebesar Rp21,6 triliun, lebih rendah dibandingkan dengan Rp26,6 triliun di hari sebelumnya.
Seri FR0103 dan PBS003 menjadi yang paling aktif diperdagangkan, dengan volume transaksi masing-masing sebesar Rp4,0 triliun dan Rp3,5 triliun.
Di sisi lain, transaksi obligasi korporasi juga menunjukkan volume yang cukup dengan total Rp5,0 triliun.
Sementara itu, Ketua Federal Reserve AS, Jerome Powell, menyatakan bahwa bank sentral akan tetap menunggu data lebih lanjut sebelum mengubah suku bunga, tetapi tetap waspada terhadap dampak kebijakan tarif.
Pasar global terlihat positif dengan penurunan yield US Treasury, yang dapat mendorong permintaan terhadap instrumen SBN dalam denominasi Rupiah.
Dengan demikian, analisis menunjukkan adanya potensi peningkatan permintaan untuk surat utang negara seiring dengan kondisi pasar yang berkembang. (BNI Sekuritas)
Harga Emas Mencapai Rekor Baru di Tengah Ketegangan Perdagangan Global
Dilansir dari Reuters, harga emas mencatat rekor baru dengan melampaui USD3.300 per ons pada hari Rabu sore WIB.
Lonjakan harga emas didorong oleh ketidakpastian di pasar dan pencarian investor terhadap aset safe haven.
Lonjakan ini terjadi setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan penyelidikan terhadap potensi tarif baru pada impor mineral penting, yang dianggap sebagai langkah untuk melawan dominasi China dalam produksi mineral.
Pada saat yang sama, harga emas spot mencapai USD3.317,90, sementara harga emas berjangka AS meningkat menjadi USD3.315,80.
Keputusan Trump untuk melakukan penyelidikan ini menambah ketegangan dalam perang dagang antara AS dan China, yang juga memengaruhi bursa saham di berbagai negara.
Saham Asia dan Eropa mengalami penurunan. Pelaku pasar mulai menjauh dari saham dan beralih ke emas sebagai tempat aman untuk berinvestasi.
Dalam survei baru-baru ini, 73% responden percaya bahwa periode keistimewaan AS telah mencapai puncaknya, dan banyak investor kini melihat emas sebagai pilihan investasi yang lebih menarik dibandingkan saham teknologi.
Emas telah meroket hampir 26% sepanjang tahun ini, didukung oleh ketidakpastian terkait tarif, pembelian yang kuat oleh bank sentral, dan ekspektasi pemotongan suku bunga.
Meskipun terdapat risiko terjadinya koreksi harga, analis memperkirakan tren bullish emas akan tetap berlanjut, dengan perkiraan harga akhir tahun dipatok mencapai USD3.600 per ons.
Walaupun indikator menunjukkan bahwa emas mungkin terlalu banyak dibeli, fundamental pasar yang kuat mendukung prospek harga emas ke arah yang positif.
Walaupun Indeks Dolar AS Turun, Ketidakpastian Tarif Global Tekan Nilai Tukar Rupiah ke Rp16.837 per Dolar AS
Dilansir dari CNBC Indonesia, nilai tukar rupiah mengalami penurunan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Rabu (16/4/2025).
Nilai tukar rupiah ditutup di level Rp16.837 per dolar, melemah 0,06% dari posisi sebelumnya.
Meskipun indeks dolar AS menunjukkan penurunan sebesar 0,76%, rupiah justru tidak mendapatkan dorongan positif yang diharapkan. Hal ini mencerminkan bahwa investor asing semakin menjauh dari pasar keuangan Indonesia akibat gejolak eksternal dan internal yang signifikan, termasuk ketidakpastian terkait kebijakan tarif dari Presiden AS, Donald Trump.
Kebijakan tarif yang diterapkan Trump terhadap impor telah meningkatkan ketegangan perdagangan, khususnya dengan China, yang dapat berdampak luas pada perekonomian global.
Investor merasa khawatir bahwa perang dagang ini mungkin menyebabkan resesi, membuat mereka ragu untuk berinvestasi di pasar yang dianggap berisiko, seperti Indonesia.
Akibatnya, dana tidak beralih ke rupiah meskipun dolar AS melemah. Alhasil, rupiah tertekan lebih dalam.
Selain faktor eksternal, indikator ekonomi domestik juga menunjukkan perlambatan, dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi melambat ke kisaran 4,9%–5% pada Q1 2025, di bawah target pemerintah. Hal ini memberikan dampak negatif terhadap kepercayaan investor.
Dengan proyeksi yang menunjukkan potensi pelemahan lebih lanjut untuk rupiah, diperkirakan nilai tukar akan berada di rentang Rp16.830 hingga Rp16.890 per dolar AS pada perdagangan mendatang.
Jerome Powell: Suku Bunga Akan Tetap Tinggi, Ancaman Stagflasi Menunggu
Dilansir dari Reuters, Ketua Federal Reserve AS, Jerome Powell, menegaskan bahwa suku bunga akan tetap tinggi hingga ada kejelasan lebih lanjut terhadap dampak kebijakan tarif AS-China terhadap perekonomian.
Pertumbuhan ekonomi AS menunjukkan perlambatan, ditandai dengan belanja konsumen yang moderat dan lonjakan impor untuk menghindari kenaikan tarif. Hal ini memicu kekhawatiran akan tekanan pada Produk Domestik Bruto (PDB) dan inflasi yang lebih tinggi.
Pasar merespons negatif: indeks S&P 500 turun 2,8%, imbal hasil obligasi pemerintah AS anjlok, dan nilai dolar melemah.
Banyak analis mengkritik sikap Powell yang dianggap mengabaikan risiko deflasi jika perang dagang berkepanjangan. Mereka menilai Fed terjebak dalam dilema antara menahan inflasi dan mendorong pertumbuhan.
Powell juga menegaskan bahwa Fed tidak akan “menyelamatkan” pasar (Fed put), yang memicu kekecewaan investor.
Kondisi ini diperparah oleh ketiadaan alat kebijakan yang mampu mengatasi kedua tantangan sekaligus, sehingga meningkatkan volatilitas pasar saham dan komoditas.
Kekhawatiran utama adalah ancaman stagflasi (inflasi tinggi disertai pertumbuhan rendah) akibat tarif yang berkepanjangan.
Sebagian analis memperingatkan bahwa kenaikan harga dan penurunan belanja konsumen dapat memicu pengangguran, serta melumpuhkan investasi.
Sementara emas melonjak sebagai aset safe haven, pasar saham teknologi, seperti Nvidia, tertekan. Powell dianggap gagal mengakui risiko deflasi jika pertumbuhan melambat drastis, memperdalam ketidakpastian.
Pasar kini menghadapi fase “menunggu dan melihat” seiring keteguhan Fed mempertahankan suku bunga. Investor global diimbau tidak bergantung pada intervensi Fed, namun fokus pada dinamika kebijakan tarif dan data ekonomi.
Volatilitas diprediksi terus berlanjut hingga ada kejelasan dampak nyata tarif terhadap inflasi dan pertumbuhan.
Keputusan Powell mencerminkan prioritas Fed untuk stabilitas harga, meski berisiko memperpanjang ketegangan di pasar keuangan.
Imbal Hasil Obligasi AS Turun, Ketidakpastian Tarif Membayangi Ekonomi
Imbal hasil obligasi Treasury AS 10 tahun turun di bawah 4,29%, mencerminkan reaksi pasar terhadap pernyataan Ketua Federal Reserve, Jerome Powell, yang meredam harapan akan penurunan suku bunga.
Powell memperingatkan bahwa tarif perdagangan yang sedang diberlakukan, termasuk penyelidikan terhadap mineral penting dan pembatasan ekspor chip ke Tiongkok, dapat membebani tugas Fed dalam mengendalikan inflasi dan menyokong pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, Powell juga menekankan perlunya data yang lebih jelas sebelum ada penyesuaian kebijakan.
Meskipun penjualan ritel menunjukkan lonjakan 1,4% pada bulan lalu, mendorong optimisme, kepercayaan investor masih tetap rentan akibat ketidakpastian yang disebabkan oleh perubahan kebijakan perdagangan.
Indeks dolar AS merosot di bawah 99,3, mencapai level terendah dalam tiga tahun, karena investor merespons secara negatif terhadap potensi dampak inflasi dan pertumbuhan yang lebih lambat akibat tarif.
Sentimen ini menciptakan keraguan di kalangan pelaku pasar tentang stabilitas ekonomi AS ke depan.
Serangkaian ancaman yang membayangi sektor-sektor seperti tembaga, farmasi, kayu, dan semikonduktor semakin memperburuk kekhawatiran akan resesi mendatang.
Hal ini mendorong arus keluar investasi dari pasar AS, memberikan tekanan pada nilai dolar, pasar ekuitas, dan sekuritas Treasury.
Dalam menghadapi semua ketidakpastian ini, para investor harus tetap waspada dan bersiap menghadapi perubahan yang mungkin terjadi dalam kebijakan ekonomi. (Trading Economics)
Factors to Watch
1. Volatilitas Imbal Hasil Obligasi AS:
Imbal hasil obligasi Treasury AS 10 tahun turun di bawah 4,29% setelah sempat melonjak ke 4,49% pada April 2025 akibat tarif.
Kenaikan imbal hasil bisa menekan harga saham, terutama reksa dana saham dan indeks saham, sementara penurunan imbal hasil mungkin mengindikasikan risiko resesi. Pantau pergerakan imbal hasil karena memengaruhi nilai investasi.
2. Tarif Perdagangan dan Ketidakpastian Kebijakan:
Tarif Trump (10% impor global, hingga 145% untuk Tiongkok) meningkatkan risiko inflasi dan perlambatan ekonomi, terutama di sektor teknologi, farmasi, dan bahan baku.
Penundaan tarif 90 hari (kecuali Tiongkok) pada 9 April 2025 sedikit meredakan kekhawatiran. Namun, ketegangan AS-Tiongkok tetap menyebabkan volatilitas. Perhatikan perkembangan tarif dan dampaknya pada sektor reksa dana
3. Kebijakan Federal Reserve dan Inflasi:
Federal Reserve belum akan memangkas suku bunga (tetap di 4,25%-4,5%) karena inflasi di atas 2%.
Tarif bisa memperburuk inflasi, menekan saham dan obligasi. Jika ekonomi melemah, Fed mungkin menurunkan suku bunga, mendukung reksa dana pasar uang atau obligasi.
Pantau data inflasi dan pernyataan Fed.
4. Melemahnya Dolar AS
Indeks dolar AS turun ke bawah 99,3, level terendah tiga tahun, akibat ketidakpastian tarif.
Dolar lemah mendorong harga emas (melebihi $3.100/oz), namun bisa merugikan reksa dana dengan eksposur internasional. Perhatikan pergerakan dolar terhadap portofolio.
5. Emas sebagai Aset Safe-Haven:
Harga emas melonjak ke USD3.100-3.300/oz (prediksi akhir 2025) karena ketidakpastian tarif dan permintaan safe-haven.
Dukungan dari bank sentral dan ETF emas memperkuat tren ini. Pantau eskalasi tarif atau defisit yang bisa mendorong harga emas lebih tinggi.
Rekomendasi bagi Investor
1. Investor reksa dana disarankan mengurangi porsi reksa dana saham dan indeks saham, menambah alokasi ke reksa dana pasar uang dan obligasi jangka pendek, serta memilih sektor defensif untuk stabilitas.
2. Investor emas sebaiknya mempertahankan atau menambah investasi emas, memanfaatkan koreksi harga. Tetap pantau kebijakan tarif, pernyataan Fed, dan indikator ekonomi untuk menyesuaikan strategi investasi.
DISCLAIMER:
Tulisan ini dibuat dan diterbitkan oleh PT Star Mercato Capitale (tanamduit), anak perusahaan PT Mercato Digital Asia, yang telah berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana dengan nomor KEP-13/PM.21/2017 serta menjadi mitra distribusi SBN dari DJPPR – Kementerian Keuangan Republik Indonesia dengan nomor S-363/pr/2018 dan dari SBSN dengan nomor PENG-2/PR.4/2018.
PT Mercato Digital Asia telah terdaftar pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) dengan nomor: 005445.01/DJAI.PSE/07/2022 dan bekerja sama dengan PT Cipta Optima Digital (emasin) untuk produk Koleksi Emas dan PT BPRS ATTAQWA (BPRS Attaqwa) dalam menyediakan produk Tabungan Emas 24 Karat produksi emas PT Aneka Tambang Tbk (Antam).
Tulisan ini bersumber dari berbagai informasi tertulis dan visual yang terpercaya dan tersebar luas baik yang disediakan secara digital maupun hardcopy. Meskipun demikian, PT Star Mercato Capitale tidak dapat menjamin keakurasian dan kelengkapan data dan informasinya. Manajemen PT Star Mercato Capitale beserta karyawan dan afiliasinya menyangkal setiap dan semua tanggung jawab atas keakurasian, kelalaian, atau kerugian apapun dari penggunaan tulisan ini.